Cinta dari Sahabat
Secara mengejutkan gue mendapatkan kabar bahwa teman dekat
akan segera menikah. Iya bisa dikatakan segera dan mendadak. Gue bahkan tidak
tahu kalau ternyata dia akan menikah dengan pacar yang baru, bukan dengan pacar
yang gue tahu dan kenal sebelumnya. Sejenak, gue terdiam untuk memikirkan bahwa
teman gue akan bersanding di pelaminan dengan seseorang, pacar yang baru—kalau
berdasarkan waktunya adalah orang yang baru dikenalnya. Pacar sebelumnya gue
sangat tahu dan mengenal karena beberapa kali sempat bertemu dan mengobrol. Untuk
pacar yang barunya, gue belum tahu sama sekali dan baru mendengar namanya. Hal itu
pun gue baca di surat undangan yang dikirimkan melalui sosial media.
Kenapa ya pacaran lama-lama putus, pacaran bentar bisa langsung menikah?
Mungkin, dia bosan dengan pacar lamanya. Mungkin juga dia bisa merasa sangat yakin dengan pacar barunya. Gue hanya bisa menduga-duga. Pernikahan akan digelar dalam hitungan hari lagi. Gue pernah dengar darinya kalau memang tahun ini akan menikah, tapi nggak tahu kalau ternyata dengan pacar barunya. Menurut gue, kabar menikah dengan pacar baru itu mengejutkan. Terlebih, dia baru mengenalnya dan teman gue memutuskan untuk menghabiskan sisa hidupnya untuh mendampingi sebagai istri.
Karena gue penasaran, akhirnya coba kirim pesan singkat
kepada teman gue itu.
“Lo benaran mau nikah?”
“Iya, minggu depan.”
“Apa?! Kenapa secepat itu?”
“Iya, ceritanya panjang.”
Akhirnya muncul dugaan baru, kenapa dia buru-buru menikah? Apakah
jangan-jangan dia terdesak karena sesuatu—pembaca boleh ikut menduga. Dari info
yang gue tahu, pacar barunya ini rekan kerja sekantor sehingga terjadi cinta
lokasi. Sebagai teman, sih, gue ikut mendukung aja selama dia bahagia.
“Tapi, gue ragu deh?”
“Apa? Seminggu lagi lo nikah dan baru bilang ragu sekarang?”
Gue pun dikejutkan lagi dengan pernyataan dia barusan, ragu.
Jelas, secara objektif mungkin karena baru kenal. Tapi keraguan itu muncul
biasanya terjadi karena ada sesuatu yang melatarbelakanginya. Sesuatu itu bisa
jadi apa saja, faktor keluarga, faktor kemapanan, faktor mental, sekali lagi cuma
dia yang tahu.
“Iya, nggak tahu mungkin bisa jadi karena gugup,” ungkapnya
“Tapi, kenapa harus dia pilihan lo?”
“Nggak tahu, gue ngerasa jatuh cinta.”
“Jadi sama pacar lamanya lo, nggak ngerasain hal itu?
“Sejujurnya, dulu gue pacaran sama dia karena ketertarikan
fisik dan saat itu memang lagi pengin pacaran dan ada yang semangatin gue
ngerjain tugas akhir.”
Gue sekali lagi terhenyak. Bisa-bisanya dia pacaran sama
orang bertahun-tahun tidak dilandasi oleh cinta, tetapi hanya ketertarikan
fisik belaka. Selama gue kenal dengan pacarnya, memang sih dari fisik terlihat
oke, akan tetapi entah dari bagian yang lain apakah dia cukup menarik. Bagaimana
dengan sifatnya, kepribadiannya, perilaku dan kebiasaanya? Gue jadi
bertanya-tanya, bahwa pada akhirnya hati jugalah yang memilih. Teman gue ini,
padahal kalau kata orang—termasuk gue. Mengganggap dia dan pacarnya nih udah
serasi, ideal, mirip—yang katanya bakal jodoh. Tapi, ternyata hati teman gue
berkata lain.
“Gue ngerasa nggak benar-benar jatuh cinta, nggak
benar-benar sayang sama dia.” Tambahnya lagi.
“Jadi, ini kali pertamanya lo merasakan desir perasaan
bahagia jatuh cinta dengan pacar baru.”
“iya,” jawabnya singkat.
“Lantas, setelah lo jatuh cinta dan yakin untuk menikah
kenapa muncul ragu?”
“Ternyata, sebelum jadian sama gue dia sudah bertunangan.”
Astaga! Lagi-lagi perasaan gue tersentak. Bagaimana tidak
dia bisa jatuh pada hubungan yang sulit. Hatinya jatuh cinta pada area terlarang.
Pacar barunya sudah punya tunangan, teman gue
jatuh cinta sama dia. Gue jadi berpikir, apakah seegois itu cinta hadir
tidak pada tempatnya, tidak pada waktunya.
Kapan, sih, sebenarnya cinta datang di saat yang tepat?
Kapan, sih, sebenarnya cinta datang di saat yang tepat?
“Terus pacar lo ninggalin mantannya demi lo?”
“Iya,”
“Kok, bisa?”
“Dia juga ngerasa belum pernah jatuh cinta seperti ini,
kecuali sama gue.”
Pada titik ini, gue coba menguraikan sebenarnya jatuh cinta
itu seperti apa. Keduanya sama-sama pada posisi punya pacar. Temen gue punya
pacar, pacar barunya punya tunangan. Akan tetapi, kenapa keduanya sampai nekat
untuk memutuskan pacarnya masing-masing untuk menyatukan cintanya. Jatuh cinta
seperti apa yang membuat mereka begitu yakin bahwa itu adalah sebenar-benar
cinta.
“Iya, gue juga nggak ngerti. Dia sama tunangan sudah lama
bertahun-tahun pacaran juga. Tapi mereka hanya bersama karena punya tujuan,
bukan karena sama-sama cinta. Mereka saling sayang karena mereka sudah dekat
satu sama lain sejak dulu, sejak bangku SMA.”
“Jadi, sia-sia dong hubungan lo selama ini dengan pacar lo? Sia-sia
juga dong perjuangan pacar baru lo bersama tunangannya sampai sejauh ini?”
“Gue nggak tahu, yang jelas nggak ada yang sia-sia bukan. Mungkin
ini memang jalan yang sudah diatur bahwa gue dipertemukan pacar baru dengan
cara seperti ini.”
Pada akhrinya, gue membayangkan betapa sulitnya kita jujur
untuk berterus terang dan mengklaim bahwa perasaan seperti apa yang
sebenar-benarnya cinta. Teman gue harus putus dengan pacar lamanya, pacar
barunya harus putus dengan tunangannya. Tapi bukankah mereka terlibat perasaan
dengan pacar lamanya masing-masing selama bertahun-tahun? Bagaimana mereka bisa
dengan cepatnya menghilangkan kebiasaan-kebiasaan saat bersama pacar lama masing-masing?
“Terus saat lo jatuh cinta sama pacar baru di kantor, status
lo masih pacaran sama pacar lama?”
“Iya,” jawabnya singkat.
“Berarti lo selingkuh dong!”
“Gue nggak selingkuh, gue cuma jatuh hati, itu hal yang
berbeda.”
“Tapi kan lo sadar punya pacar dan lo bisa jatuh cinta lagi?”
“Ya, gimana dong siapa yang bisa menahan perasaan jatuh
cinta.”
Semakin menarik, gue semakin tahu latar belakang pernikahan
dia seminggu lagi. Gue semakin penasaran dengan ceritanya.
Bersambung...
0 komentar