Cinta dari Sahabat

by - 10.05

Secara mengejutkan gue mendapatkan kabar bahwa teman dekat akan segera menikah. Iya bisa dikatakan segera dan mendadak. Gue bahkan tidak tahu kalau ternyata dia akan menikah dengan pacar yang baru, bukan dengan pacar yang gue tahu dan kenal sebelumnya. Sejenak, gue terdiam untuk memikirkan bahwa teman gue akan bersanding di pelaminan dengan seseorang, pacar yang baru—kalau berdasarkan waktunya adalah orang yang baru dikenalnya. Pacar sebelumnya gue sangat tahu dan mengenal karena beberapa kali sempat bertemu dan mengobrol. Untuk pacar yang barunya, gue belum tahu sama sekali dan baru mendengar namanya. Hal itu pun gue baca di surat undangan yang dikirimkan melalui sosial media.

Kenapa ya pacaran lama-lama putus, pacaran bentar bisa langsung menikah?

Mungkin, dia bosan dengan pacar lamanya. Mungkin juga dia bisa merasa sangat yakin dengan pacar barunya. Gue hanya bisa menduga-duga. Pernikahan akan digelar dalam hitungan hari lagi. Gue pernah dengar darinya kalau memang tahun ini akan menikah, tapi nggak tahu kalau ternyata dengan pacar barunya. Menurut gue, kabar menikah dengan pacar baru itu mengejutkan. Terlebih, dia baru mengenalnya dan teman gue memutuskan untuk menghabiskan sisa hidupnya untuh mendampingi sebagai istri.
Karena gue penasaran, akhirnya coba kirim pesan singkat kepada teman gue itu.
“Lo benaran mau nikah?”
“Iya, minggu depan.”
“Apa?! Kenapa secepat itu?”
“Iya, ceritanya panjang.”
Akhirnya muncul dugaan baru, kenapa dia buru-buru menikah? Apakah jangan-jangan dia terdesak karena sesuatu—pembaca boleh ikut menduga. Dari info yang gue tahu, pacar barunya ini rekan kerja sekantor sehingga terjadi cinta lokasi. Sebagai teman, sih, gue ikut mendukung aja selama dia bahagia.
“Tapi, gue ragu deh?”
“Apa? Seminggu lagi lo nikah dan baru bilang ragu sekarang?”
Gue pun dikejutkan lagi dengan pernyataan dia barusan, ragu. Jelas, secara objektif mungkin karena baru kenal. Tapi keraguan itu muncul biasanya terjadi karena ada sesuatu yang melatarbelakanginya. Sesuatu itu bisa jadi apa saja, faktor keluarga, faktor kemapanan, faktor mental, sekali lagi cuma dia yang tahu.
“Iya, nggak tahu mungkin bisa jadi karena gugup,” ungkapnya
“Tapi, kenapa harus dia pilihan lo?”
“Nggak tahu, gue ngerasa jatuh cinta.”
“Jadi sama pacar lamanya lo, nggak ngerasain hal itu?
“Sejujurnya, dulu gue pacaran sama dia karena ketertarikan fisik dan saat itu memang lagi pengin pacaran dan ada yang semangatin gue ngerjain tugas akhir.”
Gue sekali lagi terhenyak. Bisa-bisanya dia pacaran sama orang bertahun-tahun tidak dilandasi oleh cinta, tetapi hanya ketertarikan fisik belaka. Selama gue kenal dengan pacarnya, memang sih dari fisik terlihat oke, akan tetapi entah dari bagian yang lain apakah dia cukup menarik. Bagaimana dengan sifatnya, kepribadiannya, perilaku dan kebiasaanya? Gue jadi bertanya-tanya, bahwa pada akhirnya hati jugalah yang memilih. Teman gue ini, padahal kalau kata orang—termasuk gue. Mengganggap dia dan pacarnya nih udah serasi, ideal, mirip—yang katanya bakal jodoh. Tapi, ternyata hati teman gue berkata lain.
“Gue ngerasa nggak benar-benar jatuh cinta, nggak benar-benar sayang sama dia.” Tambahnya lagi.
“Jadi, ini kali pertamanya lo merasakan desir perasaan bahagia jatuh cinta dengan pacar baru.”
“iya,” jawabnya singkat.
“Lantas, setelah lo jatuh cinta dan yakin untuk menikah kenapa muncul ragu?”
“Ternyata, sebelum jadian sama gue dia sudah bertunangan.”
Astaga! Lagi-lagi perasaan gue tersentak. Bagaimana tidak dia bisa jatuh pada hubungan yang sulit. Hatinya jatuh cinta pada area terlarang. Pacar barunya sudah punya tunangan, teman gue  jatuh cinta sama dia. Gue jadi berpikir, apakah seegois itu cinta hadir tidak pada tempatnya, tidak pada waktunya.

Kapan, sih, sebenarnya cinta datang di saat yang tepat?

“Terus pacar lo ninggalin mantannya demi lo?”
“Iya,”
“Kok, bisa?”
“Dia juga ngerasa belum pernah jatuh cinta seperti ini, kecuali sama gue.”
Pada titik ini, gue coba menguraikan sebenarnya jatuh cinta itu seperti apa. Keduanya sama-sama pada posisi punya pacar. Temen gue punya pacar, pacar barunya punya tunangan. Akan tetapi, kenapa keduanya sampai nekat untuk memutuskan pacarnya masing-masing untuk menyatukan cintanya. Jatuh cinta seperti apa yang membuat mereka begitu yakin bahwa itu adalah sebenar-benar cinta.
“Iya, gue juga nggak ngerti. Dia sama tunangan sudah lama bertahun-tahun pacaran juga. Tapi mereka hanya bersama karena punya tujuan, bukan karena sama-sama cinta. Mereka saling sayang karena mereka sudah dekat satu sama lain sejak dulu, sejak bangku SMA.”
“Jadi, sia-sia dong hubungan lo selama ini dengan pacar lo? Sia-sia juga dong perjuangan pacar baru lo bersama tunangannya sampai sejauh ini?”
“Gue nggak tahu, yang jelas nggak ada yang sia-sia bukan. Mungkin ini memang jalan yang sudah diatur bahwa gue dipertemukan pacar baru dengan cara seperti ini.”
Pada akhrinya, gue membayangkan betapa sulitnya kita jujur untuk berterus terang dan mengklaim bahwa perasaan seperti apa yang sebenar-benarnya cinta. Teman gue harus putus dengan pacar lamanya, pacar barunya harus putus dengan tunangannya. Tapi bukankah mereka terlibat perasaan dengan pacar lamanya masing-masing selama bertahun-tahun? Bagaimana mereka bisa dengan cepatnya menghilangkan kebiasaan-kebiasaan saat bersama pacar lama masing-masing?
“Terus saat lo jatuh cinta sama pacar baru di kantor, status lo masih pacaran sama pacar lama?”
“Iya,” jawabnya singkat.
“Berarti lo selingkuh dong!”
“Gue nggak selingkuh, gue cuma jatuh hati, itu hal yang berbeda.”
“Tapi kan lo sadar punya pacar dan lo bisa jatuh cinta lagi?”
“Ya, gimana dong siapa yang bisa menahan perasaan jatuh cinta.”
Semakin menarik, gue semakin tahu latar belakang pernikahan dia seminggu lagi. Gue semakin penasaran dengan ceritanya.


Bersambung...

You May Also Like

0 komentar